
POROSNEWS — Keputusan DPR yang menyetujui pilkada melalui DPRD dengan voting, Jum’at dini hari, melahirkan berbagai spekulasi politik. Terutama di ‘menit terakhir’, dan nampaknya telah menimbulkan goncangan politik yang hebat.
Keputusan voting yang memenangkan pemililahan pilkada melalui DPRD itu, terjadi sesudah Partai Demokrat melakukan walk out (keluar) di sidang paripurna. Karena merasa pandangannya tidak diakomodir di paripurna. Di mana Demokrat menyetujui pilkada langsung dengan 10 syarat yang sifatnya mutlak dan absolut, harus diputuskan dengan musyawarah mufakat, dan menolak voting.
Akibat aksi walk out Partai Demokrat itu, langsung para anggota Fraksi PDIP, mengerumuni Puan Maharani. Dengan wajah-wajah yang sangat pias, panik, dan bingung, serta kecewa yang sangat mendalam atas sikap dan tindakan Partai Demokrat. Mereka merasa ditusuk dari belakang oleh Demokrat. PDIP seperti kehilangan daya semangat akibat, sikap Partai Demokrat yang melakukan walk out.
Tak kurang Ketua PDIP, Muarar Sirait (anak Sabam Sirait), mengatakan, bahwa kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan memperjuangkan kepentingan rakyat”. Begitu ekspresi kekecewaan PDIP, seperti yang diekpresikan oleh Muarar Sirait dan hampir semua elite PDIP.
Kalangan PDIP tidak menduga atas tindakan yang diambil oleh Fraksi Demokrat yang melakukan walk out itu. Karena, ini merupakan tindakan yang sangat menusuk bagi mereka Di mana mereka yakin Demokrat akan bersama dengan PDIP, mendukung pilkada langsung.
Mengapa ini terjadi? Tindakan Demokrat begitu ekstrim, dan sebelum meninggalkan paripurna, juru bicara Demokrat Beny K. Harman, mengatakan, bahwa Demokrat akan berada di luar pemerintahan dan menjadi kekuatan penyeimbang, tegasnya.
Nampaknya, antara Mega dan SBY tidak mencapai titik temu, dan tetap pada posisi masing-masing. Mega tetap dengan tinggi hati, tidak mau mengakomodasi SBY dan Demokrat. Mega masih dendam, karena merasa dikhianati oleh SBY. Sejak sepuluh tahun lalu. Ketika SBY mencalonkan diri sebagai calon presiden, dan kemudian menang.
Mega, Jokowi dan PDIP merasa sangat tinggi hati dengan populeritas Jokowi yang sangat luar biasa, meskipun hanya mendapatkan suara 52 persen. Tapi, sikap sombong itu, sudah nampak sejak kampanye, di mana PDIP dan Jokowi, menegaskan apa yang disebut ‘koalisi tanpa syarat’. Ini hanyalah menunjukan keseombongan mereka. Sekarang mereka menjilat ludahnya sendiri.
Peristiwa ini berulang kembali, di mana tahun l999, Mega dan PDIP mendapatkan suara mayoritas, dalam pemilu. Sehingga, Mega an PDIP menjadi ‘common enenmy’ (musuh bersama) dari partai-partai politik, dan Mega gagal menjadi presiden, akibat adanya koalisi ‘Poros Tengah’.
Sikap bergabugnya Demokrat dengan koalisi Merah Putih, sudah dapat dipredriksi bakal menyulitkan posisi Jokowi-JK, lima tahun mendatang. Bagaimana Jokowi-JK akan mengelola negara, tanpa dukungan parlemen. Ini sangat mustahil.
Sekarang, pendukung dan ‘follower’ Mega, Jokowi dan PDIP menggerakan mesin medianya, seperti surat kabar, telivisi, media sosial, dan kelompok-kelompok aktivis menghantam dan mencaci-maki SBY, sebagai biang keladi kegagalan mereka. Seakan SBY melakukan kejahatab yang tak terampuni.
Kampanye ini, berlangsung sangat masif ke seluruh jagad, dan akan terus dilakukannya, sampai SBY jatuh terduduk dan menyerah? Para pendukung Mega, Jokowi, dan PDIP mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Sementara itu, SBY diposisikan sebagai pengkhianat rakyat dan demokrasi atau anti demokrasi.